Kisah Jatuhnya Rupiah: Dibalik Krisis Ekonomi dan Runtnya Rezim Politik

Diposting pada
banner 336x280


News

JAKARTA — Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan signifikan sampai ke level yang dekat dengan masa krisis ekonomi tahun 1998. Pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2025, nilai tukarnya menetap di angka Rp16.622 untuk setiap dolar AS.

Penurunan nilai tukar rupiah ini merupakan yang terendah sepanjang tahun 2025 dan hampir menyentuh batas kritis saat krisis ekonomi melanda di tahun 1998 silam. Kondisi tersebut berakhir dengan krisis politik yang memuncak ketika Presiden
Soeharto
lengser keprabon
karena adanya penolakan dari mahasiswa dan pihak-pihak sipil yang meminta perubahan menuju demokrasi.

banner 468x60

Meskipun begitu, mengadu kondisi ekonomi saat ini dengan krisis tahun 1998 belum tentu akurat. Penurunan nilai tukar rupiah di tahun ini lebih bersifat serentak. Sebalinya, pada periode 1998, depresiasinya rupiah terhadap dollar Amerika meningkat drastis mulai dari level Rp8.000 hingga mencapai titik tertinggi kurang lebih menjadi Rp16.600 per dolar AS. Perekonomian pun runtuh waktu itu, pemerintah tampak powerless.
Orde Baru
runtuh.


Merujuk pada Peristiwa Malari, Kekerasan di Era Orde Baru serta ‘Monopoli Bisnis’ dari Jepang

Dalam catatan
Bisnis
Sebenarnya, Soeharto muncul setelah kejatuhan Sukarno. Terdapat perbedaan signifikan dalam arah pengembangan antara pemerintahan Sukarno dengan miliknya sendiri. Di masa Sukarno, politik mendominasi posisi teratas. Sedangkan di bawah rezim Orde Baru atau kepemimpinannya Soeharto, peningkatan serta reformasi pada bidang ekonomi pun mulai menjelma sebagai prioritas pokok.

Soeharto tak berdiri seorang diri dalam menyelesaikan pekerjaan penting tersebut. Ia mendapat dukungan dari individu-individu yang kompeten. Di samping para pemimpin intelijen, pendirawan struktur pemerintah Orde Baru, Ali Moertopo, ia juga dikelilingi oleh kelompok ekonom dengan latar belakang graduate dari Universitas California di Berkeley, AS.

:

Berpedoman pada masa Orde Baru, Dewan Pakar Prabowo Percaya Ekonomi RI Dapat Bertumbuh Hingga 8%

David Ransom, seorangaktivis dan penulis kiri dari Amerika Serikat dalam tulisan tersebut
Kelompok Mafia Berkeley dan Pembantaian di Indonesia
mensebutkan kelompok ekonomi ini sebagai ‘Mafia Berkeley’.

Sejarah ekonomi di Indonesia mengenal kelompok yang disebut ‘Mafia Berkeley’. Salah satu anggotanya, yaitu Widjojo Nitisastro dan koleganya, memiliki kontribusi signifikan. Sampai saat ini, generasi penerus mereka masih terkenal sebagai desainer utama dari sistem ekonomi Indonesia.

:

Ilusi Kemajuan Ekonomi Era Baru

Salah satu dampak serta pewarisannya dari kelompok Berkeley pada masa Orde Baru adalah penataan kembali pembukaan pintu bagi investasi luar negeri dan percepatan pembangunan dengan sistematis.

Jika di masa Sukarno terdapat Rencana Ekonomi Perjuangan, maka di zaman Soeharto digunakan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Inflasi merupakan aspek yang sangat dipantau oleh rejim Soeharto.

Soe Hok Gie, seorangaktivis generasi 66, mengungkapkan harapannya terhadap rencana Soeharto melalui Repelita di dalam esai yang dimuat surat kabar tanggal 16 Juli 1969.

Dia mencatat dalam catatannya bahwa Soeharto memiliki ambisi yang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan Sukarno untuk memajukan kehidupan rakyat pedesaan. Dia menyatakan, “Meskipun tahun ini merupakan awal dari periode lima tahun pembangunan tersebut, namun impresi saya adalah masyarakat tampaknya belum begitu tertarik atau perhatian terhadap visi makro pemerintah.” Begitulah bunyi kutipan Gie.

Soeharto pada setiap peluang selalu menggarisbawahi bahwa Repelita adalah pedoman utama serta rujukan untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

“Maka setelah melewati begitu banyak masa jabatan, kita akan mencapai tujuan terakhir yang kita impikan: yaitu masyarakat yang maju, adil, serta sejahtera berdasarkan Pancasila,” ungkap Soeharto dalam sambutan kenegaraan di DPR pada tahun 1972.

Pada dekade 1970, Orde Baru menyentuh titik tertinggi kesuksesannya. Perekonomian negara saat itu sedang berlimpah berkat aliran dana yang besar karena
booming
Minyak. Pembangunan dipercepat di wilayah-wilayah yang berbeda. Jalan-jalan beraspal, listrik mencapai kampung-kampung, dan bahkan bendungan-bendungan dibuat untuk mendukung perekonomian penduduk pedesaan.

Sayangnya, masa jayanya Orde Baru tak bertahan lama. Di awal dekade 1980-an, dunia menghadapi goncangan ekonomi global. Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada harga komoditas, terutama minyak mentah.

Menuju Krisis Ekonomi

Setelah terjadinya resesi global tahun 1982, kebijakan ekonomi di Indonesia perlahan berubah. Sektor selain minyak dan gas, yang dulunya kurang mendapat prioritas, kini mulai memperoleh perhatian lebih.

Eksportir dan importir, perubahan sistem pajak serta investasi yang bergantung pada sektor manufaktur terus ditingkatkan. Tidak mengherankan jika sampai tahun 1996, situasi ekonomi Indonesia cukup baik. Rata-rata pertumbuhan ekonominya bahkan dapat melebihi 6 persen.

Thee Kian Wie, pakar ekonomi tingkat lanjut tersebut, merupakan seorang senior dalam bidangnya.
Era Soeharto dan Sesudahnya: Stabilitas, Pembangunan dan Krisis 1966 – 2000
Menuliskan bahwa kemajuan positif itu tidak terlepas dari kontribusi tim ekonomi Orde Baru. Kemajuannya dalam sektor manufaktur merupakan salah satu yang tertinggi di wilayah tersebut.

Pada tahun 1995,
World Bank
Bahkan mengcatat bahwa sektor manufaktur Indonesia termasuk dalam tujuh kekuatan utama di kalangan negara-negara sedang berkembangkan. Peningkatan pada bidang manufaktur tersebut menandakan bahwa proses perubahan struktural ekonomi Indonesia sudah dimulai.

Sebagai pembanding, apabila di tahun 1969 industri berkontribusi sebesar 9,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 1995 sumbangan dari sektor manufaktur meningkat menjadi 24,2%. Di sisi lain, bagian sektor pertanian yang awalnya mencapai 49,3% pada tahun 1969 turun drastis menjadi hanya 17,2% pada tahun 1995.

Meskipun begitu, transformasi dalam struktur ekonomi tersebut belum tentu memberikan jaminan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia dapat mengatasi tekanan politik akibat kemunculan gerakan anti-Soeharto yang semakin meningkat sekitar pertengahan tahun 1990-an. Satu kejadian penting yang sangat merugikan bagi rezim Orde Baru adalah serangan terhadap kantor PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli 1996.

Dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 1996/1997 secara tersirat menunjukkan bahwa meningkatnya ketegangan politik turut berdampak pada dinamika ekonomi. Di masa itu, pemerintahan dihadapkan dengan kondisi overheating atau pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat. Tingkat inflasi melambung hingga mencapai 8,86% pada tahun fiskal 1995/1996.

Pada saat bersamaan, defisit neraca pembayaran meroket hingga mencapai US$6,9 miliar dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya berkisar di angka Rp3 miliar. Situasi ini justru memburuk dalam tahapan-tahapan selanjutnya, terlebih lagi ketika krisis keuangan global mulai melanda.

Sama seperti yang telah ditekankan oleh berbagai pakar ekonom dan akademisi, krisis keuangan tahun 1997 dengan jelas mengungkapkan ketidakstabilan sistem ekonomi Indonesia selama era Orde Baru. Untuk mencapai stabilitas ini, pihak pemerintahan terpaksa meminjam dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Sementara bagi ”
The Old General
untuk kali pertamanya harus menangani hambatan yang cukup besar terkait masa depan kekuasaannya yang telah mencapai usia tiga puluh tahun.

Masalah penurunan performa ekonomi mirip dengan membuka kapsul Pandora. Problematika tambahan, terlebih lagi praktek-praktek suap menyuap, kolusi serta favoritisme dari era pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto beserta para pengikutnya perlahan-lahan muncul ke permukaan dalam pandangan publik.

Titik paling parah krisis ekonominya mencapai tingkat yang sangat signifikan; inflasinya melambung hingga 77,6%, pertumbuhan ekonomi malah menyusut sebesar 13,7%. Nilai tukar Rupiah pun anjlok dari RP8.000 per Dolar AS sampai menghantam level Rp16.650 pada tahun 1998. Selain itu, terdapat juga gejolak sosial dengan adanya unjuk rasa di mana-mana serta Soeharto akhirnya lengser setelah memimpin selama 32 tahun.

Thee Kian Wie sekali lagi menggarisbawahi bahwa krisis keuangan yang melanda Asia dan dampaknya pada perekonomian Indonesia menekankan seberapa vital hal tersebut.
good governance
, yang mengherankannya sebelumnya dianggap kurang relelvansi oleh kalangan ekonom.

“Kekuatan sistem peradilan di Indonesia kurang dan tertinggal, tak efisien, beserta birokrasinya penuh dengan kecurangan serta absennya demokrasi,” jelas Thee Kian Wie.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *