Pengalaman Tim Siaga Kesehatan dari Emergency Medical Team Indonesia di Myanmar
Gempa besar di Myanmar tanggal 28 Maret kemarin meninggalkan berbagai duka dan kerugian. Infrastruktur medis juga mengalami dampak akibat guncangan tersebut dengan kekuatan 7,7 magnitudo Skala Richter. Kunjungan Tim Medis Darurat Indonesia (TMDI) mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat yang penuh semangat.
RETNO DYAH AGUSTINA
Sudah tepat satu minggu petugas kesehatan asal Indonesia memberikan layanan kepada penduduk lokal di Naypyidaw, Myanmar. Layanan tersebut sangat diminati oleh masyarakat sekitar. Setiap harinya, antrian panjang terbentang mulai dari dalam tenda hingga ke area parkir yang luas di hadapan Rumah Sakit Ottarathiri. “Layanan kami tersedia dari pukul 09:00 sampai 17:00,” jelas dr M. Hardian Basuki, SpOT, sebagai salah satu anggota tim.
Sampai Minggu (13/4), tim Indonesia sudah merawat 1.738 pasien dalam seminggu terakhir. “Hasil ini melebihi harapan kita. Kami hanya mengantisipasi bisa merawat 100 orang setiap hari,” kata Basuki. Di hari keempat, yaitu pada Kamis kemarin, mereka berhasil menangani sampai dengan 422 pasien, tertinggi sepanjang minggu tersebut. Saat mulainya operasional klinik, antrian sangat panjang karena masih ada banyak pasien yang belum mendapat bantuan hingga kedatangan delegasi.
“Fasilitas di tempat ini tetap terbatas sebab banyak bagian yang mengalami kerusakan, dan jumlah tenaga medis yang siap untuk memberikan layanan juga tidak begitu besar,” ungkap sang dokter berasal dari Surabaya tersebut. Kunjungan rombongan dari Indonesia dilihat sebagai penyelamat. Delegasi-delegasi merasa tersentuh ketika menyaksikan tingkat kepercayaan warga Myanmar kepada mereka. Dia mencatat bahwa banyak pasien menunjukkan respons positif setelah melihat kedatangan dokter-dokter dari negara lain. “Terdapat pula perasaan kagum, betapa orang-orang bisa datang dari sangat jauh hingga kemari,” tambahnya.
Ratusan pasien yang datang tidak semuanya adalah korban dari gempa bumi tersebut. Malah, hampir 92% dari mereka dalam satu minggu terakhir ini mengidap penyakit yang sama sekali tidak berhubungan dengan kejadian gempa. “Ada banyak kasus di mana orang-orang meneruskan perawatan luar rumah karena masalah kesehatan sebelumnya, seperti contohnya penderita gangguan ginjal,” ungkap Dr. Jaya Ariheryanto, SpA, salah satu anggota tim lainnya.
Sedangkan, pasien-pasien akibat gempa biasanya membutuhkan bantuan rawat luka hingga pemasangan gips untuk patah tulang. ”Di hari-hari pertama, pasien datang dengan luka yang belum tertangani sama sekali,” ucap Basuki. Meski darah tak lagi banyak mengucur, namun luka mereka masih kotor oleh debu dan serpihan kecil reruntuhan. Beruntung kondisi tersebut bisa tertangani dengan pembersihan dan perawatan luka.
Beberapa cedera tulang yang kompleks ini melebihi kapabilitas mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua TCK-EMT Indonesia untuk Myanmar dr Eko Medistianto, MEpid., “Kami mendirikan klinik tetap jenis 1 dengan fokus pada pelayanan luar jam.” Operasi dan perawatan inap bukan bagian dari layanan tersebut,” katanya. Timnya hanya dapat memastikan mobilitas sekitar area tulang terkontrol sementara merujuk pasien ke fasilitas medis rujukan yang lebih lengkap.